Ada masa dalam hidupmu di mana semuanya terasa runtuh perlahan. Bukan cuma soal pekerjaan atau uang, tapi sesuatu yang lebih dalam — arah, makna, dan rasa punya rumah dalam arti yang sebenarnya.
Kamu yang dulu sempat berdiri di tempat yang ramai, di antara hiruk-pikuk yang katanya “rezeki besar.” Tapi entah kenapa, hatimu gak pernah benar-benar tenang. Setiap langkah terasa kayak melawan sesuatu yang gak kelihatan, tapi terus mengguncang di dada. Sampai akhirnya, kamu beranikan diri buat berhenti.
Bukan karena capek, bukan juga karena kalah. Tapi karena kamu ngerasa ada suara lembut di hati yang bilang, “Cukup, gak semua yang menghasilkan itu harus kamu jalani.”
Dan dari situlah semua berubah.
Kamu pikir keputusan itu bakal bikin hidupmu lebih damai. Nyatanya, justru banyak yang berubah jadi dingin. Pandangan yang dulu hangat berubah jadi ragu. Beberapa orang mulai ngomongin hal-hal yang bahkan gak pernah kamu ucapin. Ada yang bilang kamu terlalu ikut-ikutan, ada yang bilang kamu dibujuk orang. Padahal kamu cuma berusaha jujur sama hati sendiri.
Tapi ya, gak semua orang bisa ngerti langkah yang kamu ambil waktu kamu mulai nurut sama keyakinan.
Waktu berlalu, kamu coba mulai dari nol. Kamu kumpulin sisa-sisa semangat, sedikit tabungan, dan bantuan kecil dari orang yang masih percaya sama kamu. Kamu pengen bangun lagi, dengan cara yang kamu anggap bersih. Gak besar, gak mewah — yang penting halal dan tenang.
Awal-awal, kamu semangat banget. Tapi setelahnya, realita datang pelan-pelan. Dagangan gak selalu laku, pengeluaran lebih banyak dari pemasukan. Kadang hasil seharian cuma cukup buat ongkos pulang. Pernah juga kamu ngerasain harus milih antara makan atau beli stok barang.
Dan di tengah semua itu, kamu sering ngerasa kecil. Tapi tiap kali mau nyerah, kamu inget almarhum bapak, rahimahullah. Dulu kalau kamu ngeluh, bapak cuma bilang satu kata, “Sabar.” Cuma itu. Tapi dari beliau, kata itu punya bobot lain. Sabar, bukan berarti diam — tapi yakin kalau Allah lagi kerja dalam diam-Nya.
Kamu terus jalan, walau pelan. Sampai satu waktu, kamu pikir semuanya mulai membaik. Tapi ternyata, ujian gak berhenti di soal ekonomi. Hubungan yang dulu dekat mulai retak. Kata-kata yang maksudnya baik, malah disalahpahamin. Percakapan kecil berubah jadi perdebatan panjang. Dan entah gimana, namamu tiba-tiba ada di tengah badai yang gak kamu buat.
Kamu udah coba jelasin, bahkan minta maaf. Tapi suasananya udah berubah. Ada jarak yang gak bisa dijembatani cuma dengan penjelasan.
Sampai akhirnya, kalimat itu keluar. Pendek, tapi nyesek banget:
> “Urus aja urusanmu sendiri.”
Kamu diam lama. Kalimat itu kayak pintu yang nutup pelan tapi pasti. Kamu baca berulang-ulang, sambil ngerasain sesuatu yang hancur di dalam dada. Kamu gak marah. Cuma sedih. Karena yang ngomong itu orang yang dulu kamu anggap bakal selalu di sisimu, dalam senang dan susah.
Malamnya kamu keluar, duduk di tempat sepi. Angin malam nyentuh muka, dingin tapi juga menenangkan. Kami pengen cerita ke bapak, tapi bapak udah gak ada.
Dan dalam sunyi itu, kamu bisa denger suara yang seolah datang dari ingatan:
> “Sabar, Nak. Gak semua luka harus dilawan. Ada yang cuma perlu diserahkan ke Allah.”
Kamu nangis malam itu. Bukan karena kalah, tapi karena sadar — selama ini kamu terlalu pengen dimengerti, padahal yang paling penting adalah dimengerti oleh Tuhan.
Sekarang, kamu masih melangkah. Kadang masih goyah, kadang masih sepi. Tapi kamu udah gak ngerasa harus membuktikan apa-apa. Kamu cuma pengen tenang. Kamu percaya, kalau Allah yang menutup satu jalan, pasti ada jalan lain yang lebih baik — cuma belum kelihatan aja.
Dan mungkin, kehilangan bukan akhir. Bisa jadi, itu cara Allah ngajarin kamu tentang makna cukup, tentang sabar, tentang ikhlas.
Kadang kamu mikir, mungkin semua ini bukan tentang siapa yang salah, tapi tentang siapa yang mau belajar. Belajar untuk gak menyimpan benci, belajar untuk tetap mendoakan mereka yang menjauh, belajar untuk menata hati tanpa dendam.
Sekarang kamu udah gak terlalu banyak nuntut dari hidup. Kamu cuma pengen damai — dengan diri sendiri, dengan masa lalu, dan dengan takdir yang kamu jalani.
Karena pada akhirnya, yang tersisa dari sebuah langkah bukanlah siapa yang pergi atau siapa yang salah, tapi bagaimana kamu tetap berjalan, walau sendirian, sambil percaya…bahwa Allah gak pernah ninggalin kamu.
