| 3 Orang Terlihat sedang Asyik duduk diatas Gedung |
TalkNesia.My.Id - Saat rakyat sedang tercekik oleh harga kebutuhan pokok yang meroket dan biaya hidup yang semakin menekan, mereka tidak hanya haus akan kebijakan—tapi juga kehadiran pemimpin yang betul-betul merasakan beban yang mereka pikul. Namun, alih-alih menunjukkan kepekaan, beberapa pejabat justru tampil dingin, dengan pernyataan yang terdengar jauh dari realitas. Ini bukan sekadar masalah komunikasi—tapi legitimasi kepemimpinan yang mulai terkikis.
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah bersuara tegas dalam situasi serupa:
“Para pejabat, anggota DPR untuk menahan diri. Jangan asal bicara yang bisa menghina dan menyakiti hati masyarakat.”
(Sumber: Katadata)
Kata-kata sederhana itu menyiratkan pesan penting: saat rakyat terluka, jangan tambah luka lewat kata-kata yang tak perlu. Di tengah demonstrasi dan kerusuhan, setiap ucapan pejabat punya bobot—bisa menenangkan, atau justru memperkeruh suasana.
Duka dan kekecewaan masyarakat semakin mengeras ketika mereka merasa diabaikan. Kejadian tragis Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, yang meninggal saat demo dilibas rantis polisi, menjadi simbol rapuhnya hubungan antara rakyat dan wakilnya. Ahok pun angkat bicara:
“Jangan cuma mau minta pajak, jangan biarkan demo seperti ini terjadi tanpa solusi. Terima mereka, dengarkan masalahnya, dan cari jalan keluar.”
(Sumber: Kompas TV,
Klik Pendidikan)
Bagi Ahok, wakil rakyat bukan hanya duduk di balik kursi empuk, tetapi turun, berdialog, dan menemukan jawaban bersama—bukan malah menghilang saat harapan rakyat paling tinggi. Coba bayangkan: ketika demonstran datang dengan air mata dan tuntutan, mereka berharap ada kepala yang mendengar, bukan bangunan parlemen yang menutup pintu. Dialog langsung mendinginkan situasi; menghindar hanya membuat emosi membara. Ahok pun mengenang pengalamannya di Balai Kota: ia selalu menerima perwakilan buruh yang datang berdemonstrasi. Dengan cara itu, konflik reda dan solusi muncul.
Sementara itu, Jusuf Kalla tak hanya menyoroti kebijakan—ia memperingatkan konsekuensi nyata:
“Kalau kota bergejolak seperti ini, maka kehidupan ekonomi akan berhenti. Bisa menimbulkan juga pendapatannya berkurang dan tentu berakibat jauh pada kehidupan masing-masing.”
(Sumber: Katadata)
Empati bukan sekadar simbol moral—ia adalah tameng perlindungan. Ketika empati hilang, ekonomi bisa lumpuh, masyarakat kehilangan penghasilan, dan lapisan rentan jadi paling terpukul.
Pada akhirnya, kita semua butuh pemimpin yang bukan sekadar punya posisi, tetapi punya hati. Mereka yang mampu meredam gejolak dengan mendengar, bukan mengasingkan. Yang mampu merangkul, bukan meremehkan. Kehadiran seperti itu tak hanya menjaga stabilitas—tapi menumbuhkan kembali kepercayaan yang sempat retak. Karena legitimasi kepemimpinan, pada dasarnya, berakar pada empati yang nyata, bukan sekadar jabatan.