Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Dari Mulut Pejabat ke Gelombang Kemarahan Rakyat

29 Agustus 2025 | 22:18 WIB Last Updated 2025-08-31T02:21:26Z

Cuplikan foto dari https://m.youtube.com/watch?v=79wKZFTaV3s

TalkNesia.My.Id - Sejak awal, demonstrasi yang mulai bergulir pada 25 Agustus 2025 bukanlah sekadar reaksi spontan. Ia adalah akumulasi dari rasa kecewa yang lama dipendam rakyat. Ada dua hal yang menjadi pemicu utama: ucapan pejabat yang tak terjaga dan kebijakan negara yang semakin menjauh dari kepentingan rakyat kecil.


Mulut Pejabat yang Melukai Rakyat

Beberapa pernyataan pejabat dalam beberapa bulan terakhir dinilai tidak sensitif. Saat rakyat menjerit karena harga kebutuhan pokok meroket, ada pejabat yang justru meminta masyarakat “lebih banyak bersyukur” atau “berhemat saja.” Ucapan seperti ini menimbulkan kesan bahwa penderitaan rakyat dianggap remeh.


Alih-alih menenangkan, kata-kata itu justru menjadi bara api di tengah situasi ekonomi yang berat. Mulut pejabat yang tak mampu menjaga kata-kata, seolah mencerminkan jauhnya jarak antara mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan dengan rakyat yang berjuang keras di lapangan.


Kebijakan yang Tidak Pro Rakyat

Selain ucapan, kebijakan yang lahir belakangan ini semakin menegaskan ketimpangan. Salah satu yang paling banyak menuai kritik adalah kenaikan tunjangan anggota DPR, termasuk tunjangan PPh (Pajak Penghasilan) yang justru ditanggung negara. Ironisnya, pada saat yang sama, rakyat kecil harus membayar PPh dengan tarif tinggi tanpa keringanan berarti.


Kondisi ini menimbulkan rasa ketidakadilan. Bagaimana mungkin rakyat diminta patuh membayar pajak penuh, sementara pejabat justru dilindungi dengan tunjangan yang menghapus beban pajaknya? Perbandingan ini semakin menambah kegeraman publik, seolah pejabat hidup di dunia berbeda—dunia yang penuh fasilitas, sementara rakyat dibiarkan menghadapi kerasnya kehidupan tanpa perlindungan.


Selain itu, aturan mengenai outsourcing yang diperpanjang, biaya pendidikan yang terus naik, serta beban pajak properti yang semakin memberatkan, menambah panjang daftar kebijakan yang dirasa tidak berpihak kepada rakyat.


Dari Geram ke Aksi Massa

Gabungan antara mulut pejabat yang sembarangan dan kebijakan yang menekan, menjadikan rakyat kian kehilangan kesabaran. Media sosial dipenuhi kritik, sindiran, hingga seruan aksi. Rasa geram itu akhirnya menemukan jalan keluar dalam bentuk demonstrasi sejak 25 Agustus.


Yang menarik, semangat di balik demonstrasi ini bukan sekadar menolak satu aturan tertentu, melainkan melawan sebuah pola: pola penguasa yang hidup nyaman di atas penderitaan rakyat, sementara ucapannya justru meremehkan jeritan rakyat kecil.


Tragedi Affan: Simbol Ketidakadilan yang Nyata

Kemarahan rakyat yang sudah menguat, akhirnya mencapai puncaknya setelah tragedi Affan Kurniawan pada 28 Agustus. Seorang anak muda yang bekerja sebagai pengemudi ojek online, sedang mengantar pesanan, tewas dilindas kendaraan taktis Brimob.


Affan bukan bagian dari demonstrasi. Ia hanya rakyat biasa yang sedang mencari nafkah. Tetapi kematiannya menjadi simbol paling nyata tentang rapuhnya perlindungan negara terhadap warganya. Jika seorang pemuda yang hanya bekerja bisa menjadi korban, bagaimana dengan rakyat lainnya?


Tragedi Affan menjadikan gerakan rakyat bukan lagi sekadar protes ekonomi, tetapi juga tuntutan moral: negara harus berhenti mengorbankan rakyat kecil demi kenyamanan penguasa.


Pesan Besar dari Jalanan

Dari semua rangkaian peristiwa ini, ada pesan yang ingin ditegaskan rakyat:

1. Kata-kata pejabat bisa melukai. Ucapan yang sembrono dapat lebih menyakitkan daripada kebijakan yang keras.

2. Kebijakan yang timpang menciptakan jurang. Selama pejabat mendapat fasilitas seperti tunjangan PPh, sementara rakyat dipaksa bayar penuh, keadilan akan terus dipertanyakan.

3. Kemarahan rakyat adalah akumulasi. Ia tidak lahir tiba-tiba, tetapi karena terlalu lama dipinggirkan, diremehkan, dan ditindas secara struktural.


Kesimpulan

Demonstrasi yang terjadi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Ia adalah refleksi dari kesenjangan antara rakyat dan penguasa. Mulut pejabat yang tak terjaga, ditambah kebijakan yang tidak pro rakyat, menjadi awal mula kegeraman. Tragedi Affan hanya menjadi pemicu terakhir yang memperlihatkan wajah ketidakadilan itu dengan jelas.


Kini, rakyat menuntut lebih dari sekadar perubahan aturan. Mereka menuntut pejabat untuk belajar menjaga kata-kata dan menghadirkan kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat, bukan hanya pada kenyamanan dirinya sendiri. 

Sumber: Klik Disini