| (Liputan6.com/ Dok Ist) |
Raya, balita 4 tahun asal Sukabumi, meninggal setelah tubuhnya dipenuhi ribuan cacing. Saat relawan mengurus bantuan, birokrasi menutup pintu: data keluarga belum tercatat pada sistem kesejahteraan, BPJS Kesehatan tidak aktif, dan aktivasi melalui PBI Pemda disebut memerlukan waktu sekitar sebulan. Nyawa seorang anak kalah cepat dari padanan data dan verifikasi berlapis.
Kronik yang Mengiris: Sistem Tersendat, Pertolongan Terlewat
Dinas sosial menyebut data keluarga belum tercantum di Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial (SIKS-NG), sementara kepesertaan BPJS nonaktif karena tunggakan. Selama perawatan intensif, relawan mengupayakan aktivasi via PBI, tetapi rentang waktu administratif tidak kompatibel dengan kondisi gawat darurat. Raya wafat setelah sekitar sembilan hari dirawat.
“Proses aktivasi kembali melalui PBI Pemda butuh waktu sekitar satu bulan,” — pernyataan pejabat Dinsos Sukabumi (rujukan: Detik).
Mengapa Birokrasi Kita “Mengikat Tangan” Sendiri?
(a) Padanan Data yang Kaku dan Lambat.
Peralihan ke data tunggal (DTSEN) dibarengi penataan peserta PBI JKN; jutaan data dinonaktifkan sementara untuk verifikasi kelayakan. Secara prinsip baik, namun di lapangan jeda administratif berisiko memutus akses layanan saat warga jatuh sakit mendadak.
(b) Error Inklusi–Eksklusi.
Kajian nasional dan internasional menunjukkan warga layak bisa terlewat, sedangkan yang tidak layak bisa tercatat. Di wilayah terpencil, biaya akses, dokumen bermasalah, dan literasi digital rendah memperbesar eksklusi.
(c) “Desain Tanpa Lapangan”.
Digitalisasi layanan kerap mengandaikan warga mampu mengurus pembaruan via aplikasi atau kantor layanan. Tanpa kanal jemput bola, sistem justru memperlebar jarak layanan.
Cermin dari Daerah Lain: Pola yang Sama, Dampak Berbeda
- Pasca-penataan PBI (nasional) — Pemerintah merapikan daftar, jutaan peserta dinonaktifkan sementara untuk pemadanan. Baik untuk akurasi, tetapi periode transisi tanpa “status sementara” rawan memutus akses layanan kesehatan.
- Level kabupaten/kota — Warga kerap baru sadar status PBI nonaktif ketika hendak rawat inap. Kebingungan informasi memicu friksi di loket layanan dan memperlambat penanganan.
Apa yang Seharusnya Dilakukan (Dan Bisa Dilakukan Sekarang)
- Layanan Dulu, Validasi Kemudian untuk kasus gawat darurat; RS/dinkes wajib internalisasi SOP ini, dinsos siapkan fast lane verifikasi pasca-perawatan.
- Buffer Policy selama transisi DTSEN: status aktif sementara (30–60 hari) sambil verifikasi berjalan, agar tidak ada warga jatuh di “celah” administratif.
- Jemput Bola: posyandu dan RT/RW sebagai sensor dini untuk keluarga dengan balita — cek sanitasi, cacingan, dan kepesertaan jaminan kesehatan secara berkala.
- Kanal Pengaduan dengan SLA (mis. 3×24 jam) + tracking status agar warga tidak terombang-ambing.
- Dashboard Publik di kab/kota: jumlah PBI nonaktif, waktu reaktivasi rata-rata, dan jumlah kasus darurat yang dilayani tanpa administrasi.
Kronologi Singkat Kasus Raya
| Tanggal / Tahap | Peristiwa |
|---|---|
| 13 Juli 2025 | Raya dibawa ke RSUD R. Syamsudin SH, Sukabumi; cacing gelang keluar dari mulut, hidung, dan anus. |
| 14–21 Juli 2025 | Relawan mengurus bantuan & aktivasi BPJS via PBI; terkendala data keluarga belum tercatat di SIKS-NG dan status BPJS nonaktif. |
| 22 Juli 2025 | Raya meninggal setelah ±9 hari perawatan intensif. |